Beranda | Artikel
Menanam Kepala Kerbau Saat Pembangunan
Selasa, 14 Mei 2013

Menanam kepala kerbau jadi hal yang biasa ketika peletakan batu pertama saat pembangunan gedung atau jembatan. Bahkan tradisi seperti ini masih kita temukan di zaman super canggih seperti saat ini, juga dapat ditemukan di kota-kota besar, bukan hanya di perkampungan. Ritual ini pun dihadiri kyai lokal yang biasa jadi pendukung tradisi yang sebenarnya jauh dari Islam. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam mengenai ritual semacam ini?

Dasar Ritual Menanam Kepala Kerbau

Adat menanam kepala kerbau sewaktu membangun suatu bangunan seperti jembatan atau gedung maupun rumah berasal dari keyakinan sebagian masyarakat kita terhadap adanya Dewa Air dan Dewa Tanah yang berkuasa atas keselamatan dan bahaya manusia. Menurut keyakinan ini, agar kedua Dewa tersebut tidak mengganggu orang yang menempati bangunan atau penggunanya, maka orang yang membangun harus memberikan sesaji dengan menanam kepala kerbau. Keyakinan seperti ini jelas bertentangan dengan akal sehat, selain itu menyalahi akidah Islam yang lurus dan tidak sesuai dengan syari’at. (Sumber: Majalah.hidayatullah.com)

Kesyirikan di Balik Sembelihan kepada Selain Allah

Sembelihan atau tumbal adalah suatu ibadah. Jika suatu ibadah dipalingkan kepada selain Allah, maka disebut syirik. Pelakunya disebut musyrik. Sedangkan jika sampai ashlul iman (pokok iman) yang hilang dalam pemalingan ibadah tersebut -seperti seseorang yang menjadikan sembelihan pada selain Allah-, maka terjatuh dalam syirik akbar (syirik besar). Konsekuensinya menyebabkan pelakunya keluar dari Islam dan kekal dalam neraka jika dosa tersebut tidak ditaubati.

Bagaimana sisi syirik sembelihan atau tumbal pada selain Allah?

Kita dapat melihat dari beberapa dalil berikut ini.

1- Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al An’am: 162).

Yang dimaksud nusuk dalam ayat di atas adalah segala bentuk taqorrub (pendekatan diri) pada Allah, namun umumnya yang dimaksud adalah penyembelihan. Demikian kata Az Zujaj sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir, 3: 161. Dalam ayat ini digandengkan dengan perkara shalat. Sebagaimana seseorang tidak boleh shalat kepada selain Allah, begitu pula dalam hal menyembelih tidak boleh ditujukan pada selain Allah.

2- Allah Ta’ala berfirman,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah (menyembelihlah)” (QS. Al Kautsar: 2). Menyembelih dalam ayat di atas digandengkan dengan shalat. Dan ibadah badan yang paling utama adalah shalat, sedangkan ibadah maal (harta) yang paling utama adalah penyembelihan. Demikian disebutkan dalam Taisirul ‘Azizil Hamid, 1: 420.

3- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ

Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah” (HR. Muslim no. 1978). Abus Sa’adaat berkata bahwa asal laknat adalah jauh dari (rahmat) Allah. Jika dimaksud laknat dari makhluk, maksudnya adalah celaan dan do’a kejelekan. (Dinukil dari Taisirul ‘Azizil Hamid, 1: 421).

Perkataan Ulama Tentang Tumbal pada Selain Allah

Imam Nawawi rahimahullah berkata,

. وَأَمَّا الذَّبْح لِغَيْرِ اللَّه فَالْمُرَاد بِهِ أَنْ يَذْبَح بِاسْمِ غَيْر اللَّه تَعَالَى كَمَنْ ذَبَحَ لِلصَّنَمِ أَوْ الصَّلِيب أَوْ لِمُوسَى أَوْ لِعِيسَى صَلَّى اللَّه عَلَيْهِمَا أَوْ لِلْكَعْبَةِ وَنَحْو ذَلِكَ ، فَكُلّ هَذَا حَرَام ، وَلَا تَحِلّ هَذِهِ الذَّبِيحَة ، سَوَاء كَانَ الذَّابِح مُسْلِمًا أَوْ نَصْرَانِيًّا أَوْ يَهُودِيًّا ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيّ ، وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابنَا ، فَإِنْ قَصَدَ مَعَ ذَلِكَ تَعْظِيم الْمَذْبُوح لَهُ غَيْر اللَّه تَعَالَى وَالْعِبَادَة لَهُ كَانَ ذَلِكَ كُفْرًا ، فَإِنْ كَانَ الذَّابِح مُسْلِمًا قَبْل ذَلِكَ صَارَ بِالذَّبْحِ مُرْتَدًّا

“Adapun penyembelihan pada selain Allah, maka yang dimaksud adalah menyembelih dengan nama selain Allah seperti menyembelih atas nama berhala, salib, Musa, ‘Isa, Ka’bah dan semacamnya. Semua penyembelihan seperti ini haram. Tidak halal sama sekali penyembelihan semacam itu, baik yang menyembelih adalah seorang muslim, nashrani atau yahudi. Demikian ditegaskan oleh Imam Asy Syafi’i dan disepakati pula oleh pengikut Syafi’i. Namun jika yang dimaksud adalah pengagungan kepada selain Allah dengan sembelihan tersebut dan sebagai bentuk ibadah pada selain Allah tersebut, maka itu suatu bentuk kekufuran. Jika yang menyembelih sebelumnya adalah muslim, maka ia jadi murtad karena sembelihan tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 13: 141).

Namun sangat disayangkan, yang mengaku bermadzhab Syafi’i tidak memahami hal ini, mereka masih terus melestarikan tradisi syirik seperti tumbal dan sesajian. Padahal imam mereka seperti Imam Nawawi memperingatkan keras masalah syirik.

Salah satu menteri di Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafizhohullah menjelaskan, “Barangsiapa yang menyembelih dengan nama Allah untuk Allah, maka ia berarti telah beristi’anah (meminta tolong) pada Allah. Juga maksud atau niatan sembelihannya pun hanya untuk Allah. Oleh karenanya bisa kita rinci, penyembelihan dibagi menjadi empat macam:

1- Menyembelih dengan nama Allah dan niatan untuk Allah, inilah yang dikatakan bertauhid.

2- Menyembelih dengan nama Allah namun niatan untuk selain Allah, ini disebut syirik dalam ibadah.

3- Menyembelih dengan nama selain Allah dan niatannya juga untuk selain Allah, ini termasuk syirik dalam isti’anah (permintaan tolong) dan syirik dalam ibadah.

4- Menyembelih dengan nama selain Allah, namun niatannya untuk Allah, ini termasuk syirik dalam rububiyyah.” (Lihat At Tamhid lisyarh Kitabit Tauhid, hal. 165).

Sesaji dengan Lalat Saja Bisa Menjerumuskan dalam Neraka

Ada sebuah hadits yang bisa jadi renungan kita bahwa perkara syirik walau sesaji dengan hal sepele tetap dianggap masalah besar di sisi Allah. Perhatikan hadits berikut ini,

عن طارق بن شهاب، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (دخل الجنة رجل في ذباب، ودخل النار رجل في ذباب) قالوا: وكيف ذلك يا رسول الله؟! قال: (مر رجلان على قوم لهم صنم لا يجوزه أحد حتى يقرب له شيئاً، فقالوا لأحدهما قرب قال: ليس عندي شيء أقرب قالوا له: قرب ولو ذباباً، فقرب ذباباً، فخلوا سبيله، فدخل النار، وقالوا للآخر: قرب، فقال: ما كنت لأقرب لأحد شيئاً دون الله عز وجل، فضربوا عنقه فدخل الجنة

Dari Thariq bin Syihab, (beliau menceritakan) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Ada seorang lelaki yang masuk surga gara-gara seekor lalat dan ada pula lelaki lain yang masuk neraka gara-gara lalat.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ada dua orang lelaki yang melewati suatu kaum yang memiliki berhala. Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan melewati daerah itu melainkan dia harus berkorban (memberikan sesaji)  sesuatu untuk berhala tersebut. Mereka pun mengatakan kepada salah satu di antara dua lelaki itu, “Berkorbanlah.” Ia pun menjawab, “Aku tidak punya apa-apa untuk dikorbankan.” Mereka mengatakan, “Berkorbanlah, walaupun hanya dengan seekor lalat.” Ia pun berkorban dengan seekor lalat, sehingga mereka pun memperbolehkan dia untuk lewat dan meneruskan perjalanan. Karena sebab itulah, ia masuk neraka. Mereka juga memerintahkan kepada orang yang satunya, “Berkorbanlah.” Ia menjawab, “Tidak pantas bagiku berkorban untuk sesuatu selain Allah ‘azza wa jalla.” Akhirnya, mereka pun memenggal lehernya. Karena itulah, ia masuk surga.” (Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Az Zuhud)[1]

Walau sepele hanya sesaji dengan seekor lalat bisa menyebabkan masuk neraka, bagaimana lagi jika tumbalnya dengan kepala sapi atau kebo seperti yang kita lihat dalam berbagai ritual peletakkan batu pertama ketika mendirikan bangunan atau jembatan?! Hadits lalat di atas juga menunjukkan bahwa dosa walau disangka itu sepele, namun bisa jadi menimbulkan bahaya besar. Maka benarlah kata Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالاً هِىَ أَدَقُّ فِى أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ ، إِنْ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُوبِقَاتِ

Sesungguhnya kalian mengerjakan amalan (dosa) di hadapan mata kalian tipis seperti rambut, namun kami (para sahabat) yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap dosa semacam itu dosa besar” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6492).

Jangan Jadi Insinyur Musyrik

Sebagian insinyur bangunan tidak memahami kesyirikan di atas. Mereka hanya manut pada permintaan masyarakat atau permintaan kyai. Padahal sangat nampak sekali syirik dan jauhnya perbuatan tersebut dari ajaran Islam. Karena ajaran Islam sangat mengagungkan Allah, tidak menyekutukan Allah dalam ibadah. Dari sini, seorang insinyur pun semestinya memahami apa yang dimaksud syirik. Karena syirik itu bukan hanya meyakini ada pencipta selain Allah. Namun syirik yang jadi pembeda orang musyrik dengan umat Islam di masa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah kesyirikan dalam hal ibadah. Setiap Nabi sudah mewanti-wanti kesyirikan ini dari zaman ke zaman. Dakwah anti syirik, itulah yang menjadi dakwah para Nabi sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu (segala sesuatu yang disembah selain Allah)” (QS. An Nahl: 36).

Semoga Allah memberikan petunjuk pada kita untuk senantiasa berada di atas tauhid dan menjauhi kesyirikan.

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 5 Rajab 1434 H

www.rumaysho.com

 

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

 



[1] Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Az Zuhud hal. 15, dari Thoriq bin Syihab dari Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu. Hadits tersebut dikeluarkan pula oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 1: 203, Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnafnya 6: 477, 33028. Hadits ini mauquf shahih, hanya sampai sahabat. Lihat tahqiq Syaikh ‘Abdul Qodir Al Arnauth terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab hal. 49, terbitan Darus Salam.

Al Hafizh mengatakan bahwa jika Thoriq bertemu Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka ia adalah sahabat. Kalau tidak terbukti ia mendengar dari Nabi, maka riwayatnya adalah mursal shohabiy dan seperti itu maqbul atau diterima menurut pendapat yang rojih (terkuat). Ibnu Hibban menegaskan bahwa Thoriq wafat tahun 38 H. Lihat Fathul Majid, hal. 161, terbitan Darul Ifta’.


Artikel asli: https://rumaysho.com/3351-menanam-kepala-kerbau-saat-pembangunan.html